Senin, 24 Desember 2007

Siapa yang Berani Menaikan Garis Kemiskinan?

Iklan kemiskinan yang dilansir kubu Wiranto mulanya tak mengundang cukup perhatian. Dalam pengamatan berpolitik, hanya ada komentar-komentar sepintas yang dikumandangkan segelintir pihak. Namun, berhari-hari setelah pertama kali diluncurkan, iklan itu menjadi polemik.

Yang menjadi pemicunya tak lain adalah komentar SBY. Menurut Doktor lulusan IPB Bogor ini, angka kemiskinan yang dilansir Wiranto tak sesuai. Pasalnya, Indonesia, kata SBY, selalu menggunakan data yang dikeluarkan BPS. Sebaliknya, Wiranto mengutip angka kemiskinan yang dilansir Bank Dunia.

Dari sisi pengemasan pesan, angka kemiskinan versi Bank Dunia memang tak menguntungkan SBY. Bagaimana tidak, menurut Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5% dari jumlah penduduk atau setara dengan 108,7 juta jiwa. Bandingkan dengan versi BPS yang hanya 16,58% per Maret 2007 atau setara dengan 37,17 juta jiwa.

Menurut Wiranto, ia menggunakan data bank dunia karena pembangunan nasional dibantu negara lain. Karena itu, tatkala berhadapan dengan mereka, yang harus disodorkan adalah data yang bersifat internasional. "Apa negeri asing percaya kepada data kita?" tanyannya sebagaimana dikutip Kompas (24/12). Tapi banyak yang percaya, Wiranto atau tim politiknya lebih sreg menggunakan data Bank Dunia karena "lebih bunyi" untuk menggambarkan kegagalan pemerintah yang kini berkuasa memenuhi janjinya mengurangi jumlah penduduk miskin.

Jikalau kini terjadi perdebatan soal akurasi perhitungan Bank Dunia, tidaklah mengejutkan. Pada tahun 2000, ketika data kemiskinan dengan perhitungan baru diluncurkan, sudah banyak keberatan yang mengemuka. Jika diringkas, kritik diarahkan pada parameter yang digunakan. Menurut mereka yang berkeberatan,
penggunaan parameter berupa daya beli minimal USD 2 dolar dianggap tak sensitif terhadap perbedaan tingkat ekonomi (negara maju dengan negara berkembang), nilai tukar antar negara maupun kultur.

Sebaliknya, data keluaran BPS juga tak sepi dari kritik para pengamat. Mereka terutama meragukan validitasnya lantaran ditengarai ada intervensi politik. Pada saat kenaikan BBM tahun 2005, umpamanya, BPS ditengarai mengutak-atik garis kemiskinan sehingga lonjakan jumlah orang miskinnya tidak terlalu dashyat meski ada kenaikan BBM hingga 120%.

Tidak ada komentar: